Postingan

Seorang Laki-Laki dan Ibadah Puisi

Pertama, saya ingin berterimakasih kepada saya atas pilihan saya menemui kamu Sabtu sore tanggal satu. Lalu, terimakasih kepada ikan dori yang mengorbankan diri menjadi fish and chips di nampan mekdi juga es krim vanilla (ke-6 yang saya beli minggu itu) yang menemani saya menunggu. Kepada pemilik toko pie pisang yang kamu bawakan sebagai buah tangan. Kepada petani pisangnya sekalian. Kepada Joko Pinurbo yang menyusun ‘Selamat Menunaikan Ibadah Puisi’, kepada penerbitnya, kepada mbak-mbak kasir yang terakhir memegang buku ini sebelum akhirnya jadi punyamu. Dan kepada kamu, yang membungkusnya rapi pakai kertas karton warna hitam legam dengan sticky note merah jambu bertuliskan nama saya.                 Tangan saya masih beku memegang cup es krim sambil melawan gugup, sampai sebuah jabat mencairkannya lewat tanganmu yang berkeringat. Sebuah sore yang ramah, melatari perjumpaan saya dengan seorang ‘sahabat literasi’ baru. Sederas peluh di keningmu, obrolan hari itu mengali

Merayakan Sebuah Permulaan

Lama tidak menulis; canggung, harus dimulai dari mana aku bingung. Tapi soal mulai-memulai, bisa kautanya pada orang yang memilih memanggilku ‘kue basah’ dari pada menanyakan namaku. Coba kautanyakan dulu, dijawab atau tidak itu tergantung keberuntunganmu. Maksudku, syukur-syukur kalau dia mau mengajarimu cara memulai sesuatu –apapun itu, karena menyapaku kala itu (yang kuceritakan di atas tadi) barangkali bukanlah contoh sebuah permulaan. Entahlah, tapi menurutku semua ini dimulai ketika tanpa sadar telingaku menagih lanjutan cerita-cerita yang lama mulutnya ingin suarakan. Ketika satu Jumat berlalu begitu cepat, secepat pelayan restoran yang   buru-buru mengalihkan pandangan dari meja kami ke luar jendela. Ketika ceritanya berbalas ceritaku; lalu debar di masing-masing dada kami menguasai suasana lewat diam yang panjang. Dan entah bagaimana, tiba-tiba ‘cerita kami’ ada dan menjadi bagian dari malam yang tak seberapa larut itu. Dari sisi meja seberang waktu itu, ada seseora

A bitj called Halimah

Gambar
            Kepada orang yang merasa tulisan ini ditujukan untuknya, jangan senyum-senyum dulu. Karena saya berkali-kali menghapus paragraf pertama ini, bingung memilih kalimat apa yang tepat untuk mengawali post yang selalu gagal saya rampungkan karena............... saya sudah menangis bahkan sebelum memulai satu huruf pun.             Saat tulisan ini rampung dan muncul di layar handphone kamu –yang mungkin sekarang sedang celingukan karena pertama kali transit di Halim Perdanakusuma– saya hadiahkan ini agar kamu tidak repot-repot mencari bacaan sembari menunggu pesawatmu. Ingusnya dilap dulu, baru lanjutin baca, oke? Hahahahaha.             Ini adalah tulisan kecil dari seorang temanmu yang manja dan cengeng. Dari seorang temanmu yang berterimakasih telah diterima apa adanya. Dari seorang temanmu yang membuat orang-orang bingung,”Imeh, kok tahan temenan sama Eno? Bocah banget gitu anaknya”. Dan selalu tersenyum sambil menjawab asal,”Dia memang kayak gitu, and I have no pro

Senandung Perempuan Buta Nada

Masih terekam jelas rendah suaramu malam itu Kau bercerita tentang lagu yang baru-baru ini mencuri spasi di kepalamu Bergumul merumahkan liriknya di sana Lalu, aku yang takut tersaingi ini diam-diam cemburu Begitu lah jarak hidup sebagai sesuatu yang mengerikan Aku yang hanya bisa kaudengar suaranya, tak mau tenggelam dikubur senandung-senandung pengantar tidurmu Dengan petikan paling sederhana dan suara yang melompati temponya Kukirimi kau lagu yang sama Ternyata cemburu adalah sebuah keberanian Hingga perempuan buta nada ini belajar bernyanyi Lagu yang diputar kekasihnya berkali-kali Aku tak perlu melihat nada untuk menyampaikan rindu Seperti aku selama ini tak perlu melihat engkau untuk memberitahumu Walau bisik-bisik; aku menyayangimu Aku Setakut itu Akan luput dari ingatan seorang Kamu. Pekanbaru, satu Senin pagi yang sendu.

Untuk yang Dilepas dan Melepaskan

Ini bukan ditujukan untuk yang sedang ditinggalkan, atau yang meninggalkan. Tapi untuk kita yang sedang sulit menerima pilihan dan keputusan seseorang, dan untuk kita yang sedang merasa salah telah memilih sebuah keputusan atas seseorang; untuk jujur dan pergi ketika sadar akan banyak luka yang timbul jika tetap tinggal. Keputusan untuk memilih terlihat kejam daripada berlama-lama memanjakan orang lain dalam kebohongan. Tidak ada rasa nyaman yang timbul dari sebuah paksaan.                 Untuk yang sedang sedih hatinya, berbagi lah pada seseorang yang sangat kau percaya. Tak perlu minta pendapat, karena hati yang sedih tidak butuh nasihat, ia hanya butuh dikosongkan dari hal-hal yang membuatmu begah; lewat mulutmu, lewat jemarimu. Bercerita lah kepada sahabatmu, tak perlu menjadi kuat hari ini, menangis lah ketika terasa sakit, tertawa lah ketika mengingat hal-hal manis. Menulis lah sebagai anonim jika kau tak percaya siapapun untuk mendengar ceritamu, tumpahkan tangisanmu lew

Dia minta saya menulis, lagi

                Aku lahir sebagai perempuan banyak tanya, dan entah mengapa semesta –yang sungguh lucu ini– mempertemukanku dengan seorang ‘kamu’ yang hanya sanggup menjawab seperdelapan dari pertanyaan-pertanyaan itu, yang separuhnya bahkan kamu sendiri tidak mengerti.                 Kemudian seperti yang kamu tau, aku dititipkan anugerah ngomel-ngomel setiap kamu tidak menggubris pertanyaanku; bersamaan dengan –si lucu– semesta yang lagi-lagi menitipkan seorang ‘kamu’ yang tenang dan diam saja sampai aku sadar; aku nyaris separuh gila.                 Dan yah, aku diciptakan dengan kemampuan menggendut dengan mudahnya walaupun makan sedikit. Dan, Tuhan ciptakan kamu yang makan banyak tapi tidak gendut-gendut. Hingga sang –lucu– semesta mendekatkan kita, agar perutmu dan perutku menyatu, dan gendut ini tak hanya jadi deritaku.                 Aku dengan otomatis terjaga pagi-pagi sekali, di waktu yang sama kamu masih meringkuk di bawah selimut hingga jam sembilan. Mung

Senja Kala Itu

               Aku senang mengingat senja yang ditelan laut kala itu, di matamu kunikmati biasnya. Seperti ingin ikut tenggelam bersama kedamaiannya, berjalan-jalan di taman terumbu; menggandeng tanganmu. Tapi apa daya kita yang hanya bisa menyaksikannya pelan-pelan lesap, disedot laut yang dingin dan gelap. Tapi tak apa, sayangku. Senja kita takkan mati beku, ia bertahan untuk muda-mudi yang ingin mencium kekasihnya; di kala senja, hingga tua. Ia bertahan untuk orang-orang tua yang tak mau kalah ingin saling mendekap kekasihnya; di kala senja, hingga salah satu dari mereka mati dan bereinkarnasi sebagai cahaya matahari, memeluk kekasihnya sebagai senja.                Senja tahu kehadirannya dinanti-nanti, congkak ia menari di panggung solo yang Tuhan fasilitasi. Usil memantulkan cahayanya lewat cermin cair tak jauh dari bibir pantai, tak lama wajahku menyemu; bercampur lah itu bias senja dan rona merah jambu hasil sebuah kecup yang tiba-tiba. Kemudian ia hilang, pantai mendadak g