Senja Kala Itu


               Aku senang mengingat senja yang ditelan laut kala itu, di matamu kunikmati biasnya. Seperti ingin ikut tenggelam bersama kedamaiannya, berjalan-jalan di taman terumbu; menggandeng tanganmu. Tapi apa daya kita yang hanya bisa menyaksikannya pelan-pelan lesap, disedot laut yang dingin dan gelap. Tapi tak apa, sayangku. Senja kita takkan mati beku, ia bertahan untuk muda-mudi yang ingin mencium kekasihnya; di kala senja, hingga tua. Ia bertahan untuk orang-orang tua yang tak mau kalah ingin saling mendekap kekasihnya; di kala senja, hingga salah satu dari mereka mati dan bereinkarnasi sebagai cahaya matahari, memeluk kekasihnya sebagai senja.
               Senja tahu kehadirannya dinanti-nanti, congkak ia menari di panggung solo yang Tuhan fasilitasi. Usil memantulkan cahayanya lewat cermin cair tak jauh dari bibir pantai, tak lama wajahku menyemu; bercampur lah itu bias senja dan rona merah jambu hasil sebuah kecup yang tiba-tiba. Kemudian ia hilang, pantai mendadak gelap tapi aku masih tersenyum di dekapanmu. Senja itu, barangkali ia membawa serta senyumanku, mengabadikannya di langit besok pagi saat fajar bertugas menggantung senyum-senyum orang kasmaran. Dan semoga kita bisa tersenyum lagi pagi besok, memulai hari hingga senja datang lagi.
               Dan jika kelak masing-masing kita akan saling meninggalkan, semoga kau –ataupun aku– akan hidup kembali sebagai senja yang berbeda dari senja yang lainnya. Yang tak akan sembunyi di kala mendung dan tiba-tiba lenyap ketika gelap. Yang tak akan angkuh berjalan turun kemudian pergi begitu saja, tidur lelap di kebekuan laut, meninggalkan pantai yang kedinginan, sendirian. Semoga kita akan menjadi senja yang berbeda, yang berusaha tetap hidup walaupun redup; karena kita tak akan membiarkan kita menjadi kau dan aku. Karena kau tetap akan dapat mencium dan memelukku; entah di kala senja, sebagai senja, atau kepada senja.


Tulisan ini diikutsertakan dalam #30HariMenulisSuratCinta

Komentar

  1. Tulisan anda bagus. Terang ga gelap. Tak batas yang kayaknya kudu disembunyikan seperti penulis2 lain ya agak misterius. Senja nya sesuai realita. Ngga perlu ada bara biru,ngga perlu muluk2. Ringan dan bagus. Ngga perlu ada lelaki malang atau perempuan penuntut. Luar biasa

    BalasHapus

Posting Komentar

some comments please :)

Postingan populer dari blog ini

cerpen : Merpati Rindu :)

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi