cerpen : Merpati Rindu :)

            Kepiluan itu masih terasa, aroma sisa pemandian Mama masih kentara dimana-mana. Aku tak berani bicara, aku tak berani menatap Papa yang sejak tadi menebarkan senyuman ke semua tamu takziah. Aku takut melenyapkan senyuman yang susah payah Papa ciptakan, sejak kepergian Mama malam kemarin Papa tak sekalipun menitikkan air mata. Padahal aku tahu, betapa kehancuran sedang melanda hatinya. “Iya Mbak, jenazahnya dimakamkan siang tadi”, sekilas aku mendengar pembicaraan Papa dengan Bude Tini yang baru saja sampai dari Yogya. “Yaa, kita daoakan saja Lani tenang di sana”. Ingin rasanya aku berlari memeluk Papa, dan menangis sejadi-jadinya, hanya saja aku takut mengakui ini semua. Dalam otakku, hanya terputar video masa lalu. Kukira, aku akan bangun dan ini hanya mimpi buruk. Ternyata, Mama benar-benar sudah pergi. Selamanya..
            Leukimia stadium lanjut, telah menggerogoti tubuh Mama tiga tahun belakangan. Kenyataan yang seketika mencambuk pedih hati kami, dokter memvonisnya hanya akan bertahan sekitar dua tahun, tapi Allah berkehendak lain. Dua tahun di lewati Mama dengan sabar, walaupun berteman sakit setiap menitnya. Dan akhirnya, malam itu di rumah sakit. Setelah mencium keningku dan memeluk Papa, ia tersenyum. Mama tidur sambil tersenyum, dan sampai saat ini Mama tak pernah bangun dan tersenyum lagi.
            “Dok, apa penyakit ini akan menurun kepada puteri saya?”, Aku menangis menatap punggung papa yang duduk berhadapan dengan seorang berjas putih di ruangan itu. Aku menyandarkan telingaku di lubang kunci untuk mendengar pembicaraan mereka. Aku takut akan ada kabar buruk ketika Papa keluar dari sana, aku tau bahwa aku lah yang mereka bicarakan ketika itu.
            “Penyakit ini memang penyakit turunan, Pak”, deggg darahku mengalir deras sekali, aku memegangi dadaku, takut suara dentumannya keluar dan terdengar oleh Papa di dalam sana, tapi laki-laki itu melanjutkan bicaranya, “Hanya saja puteri Bapak tidak memiliki bibit penyakit ini”. YaAllah, peluhku menetes deras, kakiku sudah lemas, ternyata aku masih bisa menggantikan Mama untuk Papa. Aku masih bisa merawat Papa, seperti Mama.
            “Baiklah Dok, terimakasih untuk tiga tahun ini”, aku melihat mereka berjabat tangan, aku tahu ini tanda-tanda Papa akan mengajakku pulang. Aku bersiap menjauh dari pintu, bersikap biasa seakan-akan tidak tahu apa-apa.
            “Papa bicara apa tadi?”
            Matanya berkaca-kaca, ia merendahkan tubuhnya menyesuaikan badan kecilku. Memegangi kedua pipi gembilku, ku lihat pertahanannya merenggang, air matanya menetes deras sekali. Tanganku menjamah wajahnya yang basah, “Papa kenapa?”
            “Kamu yang akan menggantikan Mamamu, kamu akan selalu bersama Papa”


“Besok kamu ajak siapa? Mama apa Papa kamu?”
            “Aku ajak Mama dong. Kamu?”
            “Aku ajak dua-duanya dong”
Beberapa hari lagi sekolahku mengadakan pentas seni besar-besaran. Sambil memperingati perpisahan kakak-kakak kelasku. Di sana sini, aku melihat teman-temanku sibuk membicarakan siapa yang akan mereka ajak ke acara itu. Seandainya masih ada Mama, pasti lengkap rasanya. Aku tampil memainkan peranku di pentas, disaksikan langsung oleh Mama dan Papa, seandainya...
“Rin....”
“Rindu!!”
Aku berbalik, aku mencari asal suara yang memanggil-manggil namaku itu. Pandanganku terhenti pada seseorang yang berlarian ke arahku sambil melambaikan tangan. Jantungku berdegub kencang sekali, darahku terpompa luar biasa derasnya. Anak ini mendatangiku? Tapi untuk apa? Lagi pula, aku sama sekali tidak mengenalnya. Hentakan kakinya kurasakan semakin dekat, sampai akhirnya dia berhenti tepat di depanku. Dengan kedua tangan yang tergenggam di balik punggungnya, dia menatapku dalam sekali.
“Hei, dipanggilin kok diem aja”
“K..kk.. Kakak siapa ya?”
Tubuh anak ini sedikit lebih besar dibanding anak-anak yang setingkat denganku, mungkin dia kakak kelasku. Duuh, darahku semakin deras mengalir, aku tahu persis betapa merahnya pipiku saat ini. Belum lagi bicaraku yang terbata-bata karena grogi. Laki-laki ini siapa sih? Aku semakin kikuk ketika dia melemparkan senyuman malu, sambil mengusap-usap punggung lehernya. Ku pikir, jika seorang anak laki-laki grogi, dia akan mengusap-usap leher belakangnya. Tapi.. ah sudahlah.
“Gio, aku Giovano kelas 6D”, dia mengulurkan tangannya, sepertinya ingin aku menyambutnya dan menjabat tangannya pelan. Yasudahlah, toh Kakak ini manis juga.
“Kamu besok nampil di perpisahan kami, Rin?”
“Iya kak. Kenapa?”
“Ngg,, enggak kenapa-kenapa kok. Eh ini, aku kepengen kamu pakai ini besok. Daaah”
Giovano Adiputra, astaga. Ini kan anak yang diidolakan teman-temanku. Aku melihat untaian berantai yang tergenggam di tanganku. Kalung dengan liontin merpati, Gio? Apa maksudnya sih?!


Pementasanku selesai, betapa leganya aku melepas gaun panjang dan mahkota ini. Properti teater ini sangat-sangat mempersulit gerakku. Aku ingin sesegera mungkin beberes, mendatangi Papa yang kulihat tepuk tangannya paling keras hari ini. Setelah ini, aku akan duduk manis di samping Papa. Menikmati acara selanjutnya, acara pelepasan kakak-kakak kelasku, termasuk.... Gio.
Acara selesai, dan dari tadi aku sama sekali tidak melihatnya. Dimana sih dia? Entah kenapa, saat ini aku benar-benar ingin menangis. Tapi aku benar-benar tidak tahu apa penyebabnya. Mataku menyisir setiap sudut ruangan ini, tapi yang ku cari benar-benar tidak ada. Gio, aku tahu aku tidak akan pernah lagi melihatmu. Karena itu, muncul lah di hadapanku. Aku ingin memberikan salam perpisahan.
Semua bangku mulai kosong, Papa pun sudah mengajakku pulang dari tadi. Yasudahlah, mungkin aku memang tidak boleh dipertemukan dengan Gio hari ini. Dan entah sampai kapan. Aku berjalan keluar ruangan super besar itu sambil menggandeng Papa. Rasanya ingin sekali aku berbalik dan mendapati Gio berada tepat di belakangku. Tapi aku membuang jauh-jauh pikiran itu, terlalu bodoh menghayal seakan-akan ini kisah cinta seperti di film-film. Semakin dekat dengan mobil, semakin berat pula langkahku. Aku masih berharap Gio melihatku dan...
“Rindu!!!”
Apa? Apa itu tadi? Suara itu... Gio! Gio memanggilku. Dia masih disini, berarti aku masih bisa melihatnya untuk terakhir kali. Astaga, betapa guncangan hebat sedang melandaku saat ini. Setengah kakiku yang tadinya sudah kuangkat untuk menaiki mobil, kuturunkan kembali. Kuurungkan niatku untuk mempercepat langkah pulang. Aku berbalik, menunggu Gio berlari mendekat dan semakin dekat, sampai akhirnya dia berada tepat di depan wajahku.
“Kak Gio... hey”
“Hahaha, kamu sudah mau pulang ya?”
“Iya kak”
“Rin, aku bakal ngelanjutin SMP di Bogor. Dan itu artinya, aku nggak akan bisa ketemu kamu lagi”
Jleb.. aku seperti terperangkap dalam kurungan hitam. Aku benar-benar tidak ingin berpisah dengan Gio. Aku ingin terus bisa melihatnya, tanpa ada jarak sedikitpun. Dan sekarang, Jakarta-Bogor memisahkan kami. Uugh, aku benar-benar ingin meremas-remas botol air mineral yang kupegan hingga gepeng. Aku tidak tahu lagi bagaimana mengekspresikan kesedihanku kali ini.
“Rindu, ayo pulang”
Aku melirik laki-laki berjas hitam yang menatapku heran dari balik kaca mobil. “Iya Pa, sebentar”
“Kak, aku pulang ya”
“Oh,, iya. Kamu hati-hati ya. Dua tahun lagi, kamu SMP loh. Belajar bener-bener ya Rin”
Aku hanya mengangguk, aku takut air mataku akan menetes jika aku bicara terlalu banyak. Aku berlari ke arah mobil, dan Gio masih berdiri di tempat yang sama tanpa bergerak sedikitpun. Bedanya, kali ini dia menunduk.
“Kak Gio!! Makasih ya kalungnya, aku suka”
Kalimat itu, adalah kalimat terakhir yang kuucapkan sebelum kepindahannya ke Bogor. Kalung ini, bukti awal perkenalan ku dengannya, dan sekaligus kenang-kenangan perpisahan kami.


Dua tahun kulewati dengan prestasi, sampai akhirnya Tahun ini aku adalah seorang siswi SMP. Tinggi badanku sudah bukan ukuran anak SD lagi, aku lulus tahun ini. Perpisahan dengan teman-temanku, kembali mengingatkanku dengan perpisahan dua tahun lalu. Gio, mungkin dia sudah melupakanku.
Hari ini, Masa Orientasi Siswa perdanaku. Dari rumah, aku sudah berdandan sesuai yang tercantum dalam surat pengumuman. Rambutku diikat tiga menjulang ke atas dengan pita warna-warni. Di leherku tercantum papan nama dari karton yang bertuliskan nama lengkapku, diberi ruang kosong lebar sekali dan aku sama sekali tidak tahu untuk apa sisa karton yang tidak ditulisi itu. Padahal namaku hanya seperdelapan bagian dari papan nama ini. Yasudahlah, semangatku sedang menggebu-gebu. Ini hari pertama! Semangat Rindu! Semangaat!!
Terik panas matahari benar-benar melumpuhkan semangatku yang sebelumnya menggebu-gebu. Setelah nama-nama hewan tercantum di papan nama kami masing-masing, dan aku mendapat julukan ‘Merpati’. Kami diarak ke tengah-tengah lapangan. Aku dijejerkan dengan teman-teman lain dengan posisi jongkok, mengelilingi sekolah yang luasnya naudzubillah. Aku belum kenal siapapun disini, aku bingung harus mengeluh kepada siapa. Di kelompokku, tak satupun wajah yang menurutku familiar. Aku sibuk berfikir sambil terus mengikuti barisan depan dengan berjalan jongkok. Kemudian yang kurasakan, mataku berkunang-kunang, semua benda dihadapanku menjadi dua kali lipat jumlahnya. Paping block yang ku pijak seperti bergoyang hebat, dan tiba-tiba aku berada di UKS sekolah ini, sendirian.
            Aku tak melihat seorangpun menemaniku, aku mencoba untuk duduk tapi aku terbaring kembali, kepalaku benar-benar pusing saat ini. Ketika tubuhku terhempas kembali ke bantal, seseorang dari balik tembok berlari membantuku untuk duduk. Sepertinya, dia ini seniorku. Aku mencoba mencari sesuatu di seragamnya, sebuah nama. Tapi aku sama sekali tidak menemukan nama itu, untuk menanyakan namanya aku masih malu.
“Kamu udah bisa ikut bareng yang lain lagi, kan?”
Aku menggeleng, penyakit manjaku memang selalu kambuh ketika tubuhku lemah seperti ini.
“Manja! Ayo cepat berdiri! Lanjutkan MOS kamu”
Aku terkejut, selama ini aku nyaris tidak pernah menerima bentakan. Terlebih dari seorang laki-laki, baru kenal pula. Huuh, kakak ini menyebalkan!
Hari pertama berlalu dengan sangat melelahkan, aku pulang ke rumah dengan perasaan jengkel. Bagaimana tidak, hari pertama saja sudah dapat kesan buruk. Semangatku seperti terkikis habis semenjak bertemu dengan kakak itu. Setelah selesai bersih-bersih badan dan makan malam, aku kembali ke kamarku. Berbaring di tumpukan boneka-boneka di tempat tidurku. sesekali aku memejamkan mata, mencoba melupakan bentakan siang tadi. Tapi tunggu.. ada yang kurang. Kalungku?? Mana kalungku?!! Kalung merpatiku yang dulu Gio berikan. Hilang! Aaarrghhtt.. Pokoknya besok aku harus menemukan kalung itu! Harus!!


Akhirnyaa. Penderitaanku berakhir hari ini. Penutupan MOS sudah selesai, dan mulai lusa aku resmi seorang pelajar SMP. Sekarang, aku harus menemukan kalung itu. Haruuuus!
Aku celingukan disekitar pekarangan sekolah, ditempat aku pingsan kemarin. Aku melihat-lihat selokan, merogohnya dengan sebatang ranting. Siapa tahu kalungku jatuh dan masuk kesana. Setengah jam aku mondar-mandir, tapi sama sekali belum menemukan kalung itu. Aku memutuskan untuk berhenti mencari, sekolah sudah sepi. Tanpa sadar aku duduk di tengah-tengah lapangan sambil menangis, tapi biarlah. Siapa juga yang akan menperhatikan aku menangis di tengah lapangan. Toh sekolah juga sudah tidak ada manusianya lagi.
“Ngapain kamu nangis di tengah-tengah lapangan gitu? Bego ya? Mos kan udah selesai”
Dung.. plakk.. jdeer.. Ada yang memperhatikanku sejak tadi. Astaga, sekujur tubuhku dingin. Kalau sampai ada yang tahu, rasa maluku sudah berada benar-benar dipuncaknya. Aku menggelengkan kepala, melirik ke belakang. Dia lagi?! Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa harus ada orang sejahat dia?! Aku masih benar-benar mengingat betapa teganya dia menyuruhku untuk tetap mengikuti mos, pasca pingsan kemarin. Rrrrrrhhhhggt.
“Ayo berdiri”, tangannya terjuntai ke arahku. Mencoba merayuku? Tidak akan pernah bisa! “Kamu tahu dong kalo sekolah ini ada penghuni lain selain manusia. Apa lagi kalo udah sore begini”
Iya-iya-iyaaa!! Dia berhasil menakut-nakutiku. Akhirnya dengan berat hati aku menjangkau tangannya. Tatapannya itu, benar-benar menyebalkan. Terlihat jelas kalau laki-laki ini sedang mengejekku.
“Kamu ngapain sore-sore begini sendirian di tengah lapangan?”
“Aku mencari sesuatu..” ... “Aku mencari kalung”
Aku kaget mendengar dia tertawa sekencang mungkin, “Hahahahahaha... kamu kesini Cuma cari kalung? Sekolah ini gak jualan kalung”
“Kalung ini, sangat berarti buatku. Ini dari seseorang yang sangaaaaat berarti”
“Laki-laki ya?”
“Iya. Dan dia baik sekali. Beda sekali denganmu”
“Pasti laki-laki itu kalah tampan denganku. Sudahlah, aku pulang dulu”
Dia ini benar-benar laki-laki aneh. Pergi begitu saja, padahal aku ini kan perempuan! Masa disuruh pulang sendiri.


Sudah satu semester aku menjadi anak SMP. Walaupun baru dua bulan seragamku dibagikan, tapi aku sudah menjadi bagian dari sekolah ini. Kelasku di lantai tiga, tepat di samping tangga. Aku duduk di bangku paling depan, paling strategis untuk siswa yang benar-benar ingin belajar. Enam bulan bersekolah disini, tentunya aku sudah mendapatkan seorang sahabat. Kia, gadis bertubuh gempal dan berkacamata itu adalah orang kedua yang ku kenal di sekolah ini, tentunya setelah kakak kelas yang super keji itu.
“Rin, kantin yuk?’
“Males aaah Ki. Gak laper”
“Yaudah, aku ke kantin dulu deh”
Kia, tidak pernah tahan dengan godaan yang berjudul ‘makanan’. Ke kantin adalah ritual wajibnya setiap keluar main. Berbeda sekali denganku yang lebih suka makan di kelas dengan bekal yang dimasak Papa.
Tak berapa lama, Kia kembali ke kelas. Dengan mulut penuh makanan, dia menarik tanganku keluar kelas. Menuruni dua kali anak tangga. Kia membawaku menuju hall. Ku kira, akan ada pertunjukan besar dari pemain sirkus ternama. Rupanya, hanyalah acara menyambut kepulangan kepala sekolah dari kenaikan Haji-nya. Aku sama sekali tidak berminat mengikuti acara seperti ini, aku berbalik. Kembali berjalan menuju kelas yang kosong melompong. Baru lima langkah aku berjalan, kerumunan teman-temanku dari kelas lain yang bergumul disitu bersorak. Sinyal untuk menyaksikan apa yang terjadi mulai timbul, ternyata hanya pemberian kalung bunga dari ketua osis kepada kepala sekolah. Huuh, ku kira apa. Tunggu! Ketua osisnya adalah kakak keji itu?! Orang seperti itu jadi ketua osis? Apasih yang menarik dari dia.
“Terimakasih atas sambutannya, Nak Vano. Bapak... –blablabla blablalba-“
Ooh, namanya Vano. Sesuailah dengan wajahnya yang lumayan di atas standar. Dari tadi aku sibuk memperhatikan Vano, tanpa aku sadari dia sedang melihatku. Pasti dia mengira aku terpesona, diih tidak sama sekali. Lebih baik aku enyah dari sini.
“Rindu! Kamu tadi kemana aja sih kok ngilang tiba-tiba?”
“Ke kelas. Abis, acaranya bikin eneg sih”
“Ooh.. EhKak Vano itu ganteng ya Rin”
“Diiih, kak Vano ganteng? Amit amit deh”
Sebenarnya dia itu memang tampan, tapi tidak mungkin aku memujinya. Sakit hati di kesan pertama hari itu sudah cukup membuatku benar-benar membulatkan tekad menjadi ‘DUTA ANTI VANO!’
“Heh! Kenapa sih bengong? Udah sadar ya kalo Kak Vano itu ganteng?”
Aku tidak menjawab apa-apa, hanya memelototi Kia yang sejak tadi tidak berhenti mengoceh tentang Vano dan Vano kemudian Vano lagi-lagi Vano. Otaknya sudah penuh dengan nama Vano!!
Akhirnya, suara yang aku tunggu-tunggu sejak tadi berdenging juga. Bel pulang sekolah berbunyi, lapangan sekolah penuh sesak oleh anak-anak yang berhamburan keluar kelas masing-masing. Papa bilang, hari ini ia agak telat menjemputku. Mau tak mau ya aku harus menunggu, rumahku terbilang jauh dari sekolah ini. Setengah jam aku uring-uringan di depan pagar sekolah, sekarang sudah benar-benar sepi. Aku jadi teringat cerita teman-teman tentang hantu penjaga sekolah ini, kudukku berdiri. Seperti ada yang datang mendekatiku dari belakang, hawa disini seketika berubah menjadi dingin sekali. Langkah kaki seseorang seperti siap menujuku dengan tangan yang memegan pisau. Dan akan menusukku dari belakang, kemudian aku jatuh bersimbah darah tanpa seorangpun yang tahu. Aku sama sekali tidak berani menoleh, seseorang ini mendengus tepat di leherku. Kemudian aku berbalik, kulihat sesosok laki-laki dengan wajah menyeramkan berwarna putih pucat dengan mulut menganga, memakai jaket super besar berwarna hitam. Sontak akupun teriak ‘Aaaaaaaaaaaaaaaaaa’. Kemudian semuanya gelap, sangat gelap.
Sosok yang membuyarkan pandanganku itu bukan setan, jin atau apalah itu. Dia adalah Vano. Dia panik ketika aku pingsan, dia menggendongku sampai ke rumah. Entah darimana dia mengetahui alamatku, yang aku tahu di rumah ketika aku sadar ada note kecil di meja kamarku.
Aku Vano, Rin.
Maaf udah bikin kamu pingsan.
Aku Cuma iseng pengen nemenin kamu.
Gak tau kalo akhirnya bakal begini.
Maaf ya Rin.
-Vano-
            Entah kenapa, tanpa kusadari. Membaca surat ini sedikit memperbaiki perasaanku. Aku senyum-senyum sendiri setiap terbayang wajah Vano. Setelah kupikir-pikir, dia ini memang tampan sekali. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur jengkel akibat kekonyolan-kekonyolannya. Ah lagipula sebentar lagi aku tidak akan bertemu dia, tiga bulan lagi kan dia ujian kelulusan. Haha baguslah, berarti tidak akan ada lagi yang menjahiliku setelah dia pergi.


            “Rindu..”
            Astaga anak ini, sudah mau pergi masih saja mengganggu ketentraman hidupku. Sekolah yang luas ini terasa sempit sekali, setiap aku berjalan selalu bertemu dengannya.
            “Rindu, aku lulus!!”
            “So?”, aku melengos, terus melangkahkan kakiku untuk menghindari laki-laki menyebalkan ini “Ada hubungannya sama aku?”
            Dia terus saja mengikutiku, semakin aku mempercepat langkahku, semakin cepat pula dia mengikutiku.
            “Kakak apaan sih?! Belum capek jahilin aku?”
            Dia berhenti, tapi aku terus saja berjalan mengacuhkannya. Tapi, aku sedikit merasa bersalah telah membentaknya. Hatiku seperti berkata ‘ayodong Vano! Kejar aku lagi’ tapi aku terus saja berlalu meninggalkannya.
            Langkahku terhenti ketika melihat sekerumunan kakak kelas menangis, di sana ada Vano. Hanya dia sendiri yang terlihat tenang, tidak berekspresi sedikitpun. Dia melamunkan apa sih? Apa aku? Halah, perasaan ini yang terus menggangguku. Aku terlalu GR menganggap dia menjahiliku karena dia tertarik kepadaku.
            “Van, kamu kok gak nangis sih? Kita kan pada sedih karena kamu”
            “Buat apa aku nangis? Aku seneng dong tau kalo kalian pada gak pengen aku pergi”
            Whaaat!?? Vano mau pergi? Pergi kemana dia? Duh, perasaan apalagi ini. Aku teringat Gio yang meninggalkanku begitu saja. Aku takut kehilangan Vano, tapi apa hak ku? Ah sudahlah, lebih baik aku meninggalkan tempat ini.
            Hari ini bel berbunyi lebih awal, bahkan kami sama sekali tidak belajar hari ini. Aku mengambil tasku, dan melihat ada amplop putih di bangku ku. Berat, sepertinya tidak hanya berisi surat. Aku membukanya, itu kalung milikku! Kalung merpati pemberian Gio dulu. Ada suratnya..
“Rindu, ini kalung kamu kakak kembaliin.
Maaf ya baru ngembaliin sekarang.
Waktu kamu pingsan ketika MOS, kalung ini jatuh.
Kakak yang mungut, nih sekarang kakak balikin.
Kayaknya kalung ini berharga banget buat kamu.
Rin, kakak minta maaf ya udah bikin kamu kesel.
Mungkin buat kamu, kenal sama kakak adalah bencana.
Tapi kakak seneng deh kenal sama kamu.
Besok sore pesawat kakak boarding jam 5.
Kakak ikut Papa ke Australia.
Kalo kamu mau, kamu dateng ya.
Kakak mau kasih salam perpisahan”
                                                            -Vano

            Aku tidak terlalu memperdulikan surat itu, aku sudah terlalu senang karena kalungku kembali. Tapi, dia menyuruhku datang. Apa salahnya aku menyempatkan waktu di hari liburku untuk menemuinya.
            Akhirnya hari ini datang, aku minta diantar Papa ke bandara. Sampai disana, aku mencari keberadaan Vano. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 16:50. Sepuluh menit lagi Vano berangkat, tapi sampai sekarang aku tidak melihatnya. Sebuah tepukan di bahuku menyadarkan aku bahwa Vano sedang memanggilku. Benar, dia tepat berada dibelakangku.
            “Kamu datang Rin?”
            “Seperti yang kakak lihat”
            “Ooh, ehm Rin. Tujuh tahun lagi aku kembali ke Jakarta. Aku harap, kamu masih mau ketemu sama aku”
            Aku terdiam, dia terus saja bicara. Aku mendengarkannya, hanya takut menjawab kata-kata yang terus-terusan keluar dari bibirnya. Sampai tanda keberangkatannya dibunyikan, dia berjalan menjauh. Sampai akhirnya sangat jauh dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Selamat jalan Kak, semoga kita bisa ketemu lagi.


            Hari ini, ku harap semuanya berjalan lancar. Papa mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran untukku. Semua yang ku minta, ia turuti. Di taman belakang rumahku, pesta itu diadakan nanti malam. Usiaku genap 20 tahun, dan aku baru kuliah semester 5. Gaun yang ku pesan sejak seminggu yang lalu sudah ku kenakan, anggun sekali. Aku merasa seakan-akan berada di puri indah bersama Papaku yang tampan dan rupawan. Aku merasa seakan-akan aku adalah seorang putri merpati, dalam balutan gaun putih berbulu. Persis seperti merpati. Semua dekorasi taman, kuminta bertemakan merpati. Aku mencintai merpati seperti aku mencintai Gio yang meninggalkanku, memberikanku kalung yang tak sekalipun ku lepaskan dari leherku. Aku sudah mengirimkan undangan ke alamat Gio yang baru, betapa aku sangat mengharapkan kedatangannya, walaupun itu sangat tidak mungkin.
            Acara sudah dimulai setengah jam yang lalu, tapi aku belum merasakan kedatangan Gio. Apakah memang aku harus melupakan dia? Sudahlah, aku sama sekali tidak berharap banyak. Dari pintu berjalan seorang laki-laki tampan sekali, mengenakan jas hitam, sangat berwibawa. Aku seperti pernah mengenalnya, dia Vano. Iya dia Vano! Hari ini tepat tujuh tahun sejak keberangkatannya ke Australia, dan seperti janjinya, dia kembali untukku. Dia membawakanku bungkusan berwarna putih, kado itu berbeda sendiri diantara tumpukan-tumpukan kado yang lain. Dia tampan sekali, aku terenyuh. Aku seperti merasakan jatuh cinta untuk kedua kalinya. Mungkin Vano bisa menggantikan posisi Gio di hatiku, semoga..
            “Kakak?”
            “Hei Rin, happybirthday ya”, dia berdiri tepat di sebelahku. Sepertinya cocok sekali apabila kami disandingkan. “Apakabar kamu?”
            “Baik kak.. kakak gimana?”
            “Baik kok, aku pindah lagi ke Jakarta Rin. Aku mau nikah”
             Astaga, guncangan baru mendera tubuhku. Baru saja aku membuka hati, sudah harus terluka dan kehilangan lagi. Kak Vano pulang ke Jakarta untuk menikah? Lalu aku bagaimana?!
            Sejak kepulangannya kembali, kami lebih sering menghabiskan waktu bersama. Setiap hari dia menjemputku kuliah, kami jalan-jalan bersama. Kadang aku takut, calon isteri kak Vano akan marah nantinya. Tapi yasudahlah, toh dia masih calon istri, belum istri sesungguhnya. Lagipula aku yakin, perasaanku terhadap kak Vano lebih besar ketimbang perempuan itu.
            Liburan menjemputku untuk bersenang-senang, dua minggu kedepan aku akan menghabiskan masa liburku di Lombok. Tempatnya romantis sekali, aku mengajak kak Vano untuk menemaniku. Siapa tahu dia berubah pikiran dan tidak jadi menikahi kekasihnya, kemudian berpaling kepadaku. Sampai lah aku di hotel bintang lima yang lokasinya sangat strategis, menghadap pantai yang masih sangat terjaga. Ku buka notebook yang sudah ku charge full semalaman, ada satu email masuk dari orang tidak di kenal. Dia mengaku sebagai Gio, dan dia berada di pulau ini. Aku bingung harus senang atau bagaimana. Dia meminta bertemu denganku ketika hari terakhir aku berada di Lombok. Yasudahlah, mungkin saja ini jalan keluarku untuk kembali meraih cinta pertamaku, dan membiarkan kak Vano bahagia bersama calon istrinya.
            Altar sang surya goyah, dia lengser ke peraduan. Membiaskan cahaya jingga yang memantul di ambang cakrawala, cahayanya mendominasi laut Lombok yang benar-benar sangat indah. Di Pantai ini, hanya ada aku dan kak Vano. Entahlah, tapi aku nyaman sekali seperti ini. Dia memelukku, erat sekali. Sampai matahari benar-benar telah sembunyi, dan bulan sibuk menari-nari dengat balutan gaun indahnya. Dingin sekali, malam itu kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Di depan pintu kamarku, kak Vano mencium keningku, lembut sekali. Aku seakan-akan tak ingin kecupannya lepas. Tak berapa lama dia tersenyum kepadaku, dan berlalu ke kamarnya.
            Semalaman aku memikirkan hari ini, apa yang terjadi denganku dan kak Vano. Apa ini?! Aku perusak hubungan orang lain. Bagaimana perasaan kekasih kak Vano jika tahu semua ini? Tapi selama kak Vano pulang ke Indonesia, dia sama sekali tidak pernah mengenalkanku dengan perempuan itu, bahkan membicarakannya saja tidak sama sekali. Dia hanya bilang, dia pulang untuk menikah.
            “Pagi kak”
            “Pagi.. kamu udah siap-siap packing?”
            “Udah. Kak nanti aku mau pergi dulu sebentar boleh?”
            “Mau kemana?”
            Aku bingung harus bagaimana menjelaskan kepada Vano kalau aku ingin bertemu dengan Gio di pulau ini. Tapi yasudahlah, aku harus terus terang. Ku tarik napasku dalam-dalam hingga aku tenang. Dan aku mengatakan yang sejujurnya.
            “Aku ingin bertemu cinta pertamaku kak”
            “Di pulau ini?”
            “Iya. Namanya Gio”
            “Oh yasudah. Hati-hati ya”
            Aku berjalan sendirian menyusuri pantai, sesekali rok ku terangkat karena angin menggelitik manja bergulir dari laut dan menampar pelan tubuhku. Gio, aku masih mencari-cari keberadaannya. Dan sampailah aku di tempat yang dia janjikan dalam email waktu itu. Aku melihatnya, sosok yang tegap sekali. Sedang memandangi pantai. Tapi apa iya ini dia? Aku benar-benar tidak asing dengan postur ini. Dan ketika dia berbalik. Betapa kagetnya aku, ternyata dia adalah Vano.
            “Loh. Kakak ngapain disini?”
            “Nungguin kamu, Rindu”, dia menarik kerah bajunya agak kebawah. Memperlihatkanku kalung yang sama dengan yang ku kenakan. Jadi ternyata, Gio adalah Vano dan Vano adalah Gio? Astaga,, aku baru mengingat nama lengkapnya. Giovano Adiwijaya. Kenapa selama ini aku begitu bodoh tidak menyadarinya? Kenapa aku justru mengetahui ini setelah bertahun-tahun? Tapi waktu itu bukannya Gio pindah ke Bogor? Tapi kenapa kemudian dia bisa satu sekolah denganku? Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa dibohongi habis-habisan. Dua kali aku ditinggalkan oleh orang yang sama.
            Gio, ketika kelas 2 SMP, dia kembali lagi ke Jakarta. Kebetulan sekolahnya adalah sekolah pilihanku. Dan disana, kami kembali bertemu. Dia mengenaliku lewat kalung ini, dan aku sama sekali tidak mengenalinya dengan nama panggilan barunya itu.
            “Kakak kenapa gak bilang sama aku?”
            “Aku mau tau seberapa besar niat kamu nungguin aku Rin”
            “Oh, terus kakak udah tau seberapa aku sayang sama kakak?”
            Dia memelukku lagi, kali ini salam perpisahan kami dengan pantai Lombok yang kembali mempertemukanku dengan Gio. Semua kekesalanku seperti terbayar sudah, aku melupakan kejadian-kejadian yang lalu. Yang ku tahu, Gio sekarang sudah kembali berada di dekatku.
            “Kakak yang gak nungguin aku!”
            “Siapa bilang?”
            “Itu buktinya, kakak mau nikah kan di Jakarta?”
            “Emang kamu tau siapa calon mempelainya?”
 Aku menggeleng, tapi kesedihan benar-benar tengah merajam hatiku. Baru saja aku dipertemukan dengannya, kemudian aku harus merelakannya menikahi perempuan lain.
            “Rindu, kakak pulang untuk kamu. Yang akan kakak nikahi itu ya kamu”
            Ya Tuhan, terimakasih untuk yang terjadi selama ini. Terimakasih telah mempertemukanku kembali dengan Gio.


            Sudah dua tahun ini aku dan Gio menjalin hubungan, hubungan yang tidak lagi sekedar adik dan kakak kelas, bukan lagi sekedar teman sekolah, kali ini aku adalah tunangan resmi seorang Giovano Adiputra. Bulan depan pernikahan kami akan dilangsungkan, semua persiapan sudah tertata rapih. Akad nikahku akan berlangsung di Tajmahal-India. Kota impianku sejak dulu. Papa sibuk mengurusi semua keperluanku, orang tua Gio yang masih di Australia akan langsung ke India minggu depan. Kadang, aku rindu keberadaan Mama. Kalau saja Mama masih ada, pasti Papa tidak akan kelabakan sendirian. Mama, Rindu udah mau nikah Ma. Rindu mau kasih Rindu kecil buat Mama.
            Aku dengan balutan kebaya tertutup, sudah siap untuk memasuki ruangan akad nikah yang ku mimpikan ini. Benar-benar seperti mimpi, aku duduk disandingkan dengan Gio dihadapan penghulu. Selesai Papa mengucapkan ijab qabul dan Gio mengikutinya, aku resmi menjadi nyonya Giovano. Resepsiku akan berlangsung di Jakarta, besok malam kami akan kembali ke Indonesia.
            Bulan madu kami tertunda karena kesibukan Gio yang bolak-balik Indonesia-Australia, dia sibuk mengurusi perusahaan Ayahnya yang diwariskan kepada Gio. Lagipula aku masih merintis karirku sebagai penulis di Jakarta, sampai akhirnya aku terjatuh ketika sedang asyik mempresentasikan karyaku di depan penerbit. Gio pulang ke Indonesia saat itu juga. Aku dilarikan ke rumah sakit, hidungku terus-terusan mengeluarkan darah segar. Aku ditangani tim medis di ruang ICU, nafasku seperti tinggal satu-satu. Sampai akhirnya Gio tiba di Jakarta, kemudian langsung menemuiku di rumah sakit bersama Papa. Aku sudah berada di kamar rawat, darah yang sejak tadi mengalir sudah berhenti. Papa terlihat khawatir sekali, aku pernah melihat ekspresi ini ketika Mama pertama kali divonis mengidap Leukimia oleh dokter, juga di rumah sakit ini.
            “Aku ga apa-apa kok, Cuma kecapean aja”
            Gio menggenggam tanganku erat sekali, terlihat jelas kepanikan di paras wajahnya. Aku jadi semakin merasa bersalah telah membuat suamiku meninggalkan pekerjaannya hanya demi aku, dan membuat Papa cemas sebegininya.
            Sampai akhirnya aku kembali ke rumah, Gio memutuskan untuk menyerahkan perusahaan ke Adiknya untuk beberapa bulan, atau paling tidak sampai aku benar-benar pulih. Bulan madu kami akhirnya terlaksana, dan Lombok lah pilihan kami. Pulau yang pernah mempertemukan kami kembali, menghadiahkanku dan Gio janin yang terus berkembang di rahimku.
            Semuanya sudah pulih kembali, kandunganku sudah menginjak waktu 4 bulan. Gio kembali disibukkan dengan urusan perusahaan, dan kembali tunggang langgang dari Indonesia ke Australia. Aku menjaga kandunganku sebaik mungkin, bahkan Papa melarangku untuk bekerja di redaksi sampai anakku lahir. Ketika itu aku sedang berbicara dengan Papa, mengamati Papa yang sangat cekatan membuat kue. Tiba-tiba aku merasa ada yang menetes dari hidungku, darah. Lagi-lagi ini terjadi, aku kembali dilarikan ke rumah sakit. Dan Gio kembali meninggalkan pekerjaannya demi aku. Kali ini masa pulihku lama sekali, mungkin berhubung ada penghuni baru di dalam tubuhku. Calon bayiku yang terus berkembang di dalam sana. Aku melihat ekspresi tidak enak dari wajah Papa ketika memasuki ruang rawatku. Matanya sembab, aku tahu persis kalau Papa baru selesai menangis. Sekali lagi pukulan besar menghantam hatiku, leukimia itu turun pada tubuhku. Dokter menyarankan untuk menggugurkan janin ini, kalau tidak nyawaku akan terancam.
            “Tidak Pa! Aku sangat menginginkan anak ini”
            “Tapi Rindu, nyawamu lah taruhannya”
            “Hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan Pa. Kalaupun aku menggugurkan kandunganku, toh nantinya aku juga akan mati. Daripada aku mati sia-sia, lebih baik nyawaku untuk anak ini kelak”
            Aku tahu persis penyakit ini tidak bisa disembuhkan, dokter memperkirakan usiaku tidak akan lama lagi. Sampai akhirnya aku melahirkan dua anak kembar yang sangat cantik. Dan sampai sekarang aku masih bertahan, aku masih bisa merawat kedua anakku itu bersama Gio. Yang mempertemukanku dengan Gio adalah simbol merpati, dan aku mencintai merpati seperti aku mencintai Gio. Aku ingin nama anak-anakku menyangkut tentang merpati.
            “Davina dan Devani, aku akan berikan nama itu kepada mereka”
            “Kenapa harus itu?”
            “Dove adalah merpati, aku ingin kalian mengenangku dengan simbol merpati. Aku tahu aku tidak akan sanggup menemani mereka hingga dewasa nanti. Berikan kalungku kepada Vina dan kalungmu kepada Vani. Biarkan mereka merasakan aku hidup setiap kali melihat kalung itu”
            Kedua anakku sudah tumbuh, usia mereka baru genap delapan bulan. Saat ini nafasku sangat berat, kepalaku seperti dihantam batuan cadas yang terus menghadiahkanku kesakitan luar biasa. Darah segar dari hidungku terus mengalir. Kaemoterapi selama ini hanya memperbaiki keadaanku dalam kurun waktu yang tak lama. Kemudian sakit itu datang dan terus menghantuiku. Ku lihat Gio panik, dan sibuk membawaku ke rumah sakit. Aku sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi. Aku hanya menemui diriku terbaring lemah di ruang ICU dengan selang yang membantuku bernapas. Aku menunjuk sebuah kursi roda di sudut kamarku, menyuruh Gio membawaku keluar dari rumah sakit ini. Dulu, setiap kali aku merindukan Gio, aku selalu pergi ke taman merpati tak jauh dari sekolah dasarku, hari ini entah kenapa aku ingin sekali kesana. Aku memaksa Gio untuk membawaku ke sana, aku ingin berpamitan dengan sahabat-sahabatku yang berbulu putih bersih itu.
            “Kak Gio, jaga anak-anak kita”, ku rasa itu kata-kata terakhirku sebelum Tuhan benar-benar membawaku pergi bersamanya. Dari atas sini aku melihat jasadku dikerumuni merpati-merpati penghuni taman itu. Gio menangis sekencang-kencangnya, memelukku erat sekali. Gio, jaga kedua merpati kecil kita.


            “Vina! Itu yang itu belum dapet makanan”
            “Iya Van, ini lagi dikasih. Mereka rame banget tau”
            Aku tersenyum memandangi merpati kecilku sudah tumbuh besar, sekarang merekalah yang merawat sahabat-sahabatku. Mereka cantik sekali, seandainya aku masih bisa menghadiahkan mereka sepasang sayap agar bisa seindah merpati-merpati itu. Gio, sudah menetap di Indonesia semenjak kepergianku, dia menjaga anak kami dengan sangat baik. Dia membuka album foto kami, memberitahukan wajahku kepada anak-anakku.
            “Bunda cantik ya, Yah”
            “Iya, Bunda kalian cantik. Sama seperti kalian berdua”
            “Bunda, sampai ketemu nanti ya”, hujan membasahi taman itu seketika. Mereka berlarian menuju mobil, ini air mataku. Aku terharu akan cinta anak-anak dan suamiku. Aku melihat kedua kalung itu melingkar di leher mereka. Nak, bunda tunggu kalian di sini :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi