Satu Lagi Akhir Pekan

     Rasanya seperti baru kemarin petang, kau mengabariku ketika pulang. Dan aku, menunggu tamu yang kurindukan, yang datang sekali dua pekan. Senja baru saja lepas dan aku mengamati langit dari teras, rautku bersungut-sungut setiap mendung begitu pekat, seperti tak membiarkan aku melihatmu dari dekat. Tapi kemudian angin membawanya pergi, mungkin ia mengerti rasanya rindu setengah mati. Kemudian senyumku seketika mengembang, ketika tahu di depan pintu ada seseorang. Kemudian kau duduk di tempat yang sama, di sudut yang sama seperti sabtu-sabtu sebelumnya; ketika kau masih sahabatku, sampai kau jadi lelakiku. Kemudian kau ceritakan banyak hal, tentang hal-hal yang tak kuketahui sebelumnya. "Paling tidak kita harus tau bagaimana mengucapkan cinta dalam berbagai bahasa", katamu ketika kukatakan aku mencintai sastra. "Aku sayang kamu. Je t'aime. Mahal kita. Ich liebe dich. Te amo. Wo ai ni", kau melanjutkan. Kemudian pembicaraan kita menjalar ke kisah-kisah dunia, tentang Taj Mahal yang dihadiahkan seorang Raja kepada mendiang Ratunya. "Kau mau kuhadiahkan apa?", katamu kemudian. "Tetaplah menjadi kau yang seperti ini", kataku. Kemudian kau ceritakan dongeng tentang orang jumawa yang tenggelam di tengah laut; tentang bagaimana seharusnya tak merasa begitu kecil atau begitu hebat, karena kelemahan orang yang kukira hebat barangkali bisa jadi kelebihanku. Di luar kesadaranmu, kau mengajariku banyak hal. Malam semakin larut, dan kau harus segera pergi. Rasanya ingin sekali menyekapmu sampai pagi, menguncimu di lemari biar kau berteriak-teriak minta dipulangkan. Biar kulepaskan rinduku dengan mendengar suaramu, walau sebanyak apapun mendengarnya tetap tak pernah cukup. Tapi kau berjanji untuk pulang lagi lain waktu, kau memintaku menunggu sedikit lebih lama lagi. Dan aku, berjanji untuk memercayai engkau apapun yang terjadi, menunggumu selama apapun kau harus berjuang di sana.
     Rupanya bukan kemarin petang, itu senja yang kita tinggalkan di belakang. Rupanya sudah berjalan begitu lama, setelah kau menyuruhku berhenti menunggu. Sudah begitu lama, sampai sakit yang kau tinggalkan tidak lagi terasa; entah disembuhkan waktu, entah terlalu parah sampai mati rasa. Dan dalam waktu yang lama itu, aku berusaha menyembuhkannya. Dalam waktu yang lama itu, aku berusaha untuk tidak membencimu. Kau tau? Tidak membencimu tak semudah seperti tidak melakukan apa-apa. Tapi aku melakukannya, dan sampai hari ini aku sudah baik-baik saja.
     Selain mengajariku hal-hal hebat, yang kau lakukan diluar sadarmu barangkali adalah melukaiku. Kumaklumi karena kau yang kukenal bukanlah kau yang gemar menyakiti. Selagi waktu mengeringkan luka di tempat yang dulu kaujadikan rumahmu; hatiku, aku membersihkan puing-puing yang keluar dari ucapanmu, dari perlakuanmu, yang barangkali bisa melukai kakiku ketika aku berusaha berjalan maju. Agar ketika waktunya tiba dan lukaku sembuh sepenuhnya, tak akan ada lagi luka yang kausebabkan di kemudian hari. Baik itu karena kau yang dulu, atau kau yang kelak menyapaku ketika tak sengaja bertemu.




Satu lagi akhir pekan, tanpa membukakan pintu untuk seseorang yang pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen : Merpati Rindu :)

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi