Untuk Penghuni yang Pergi Tanpa Mengunci Pintu

Untuk penghuni yang meninggalkan rumah tanpa mengunci pintu; yang tak tau akan pulang atau tidak. Yang tak tau harus kutunggu atau tidak.

Mengingat bagaimana kau pergi terburu-buru; entah kau dikejar-kejar hantu, entah mungkin bagimu rumah ini tak lagi layak huni. Sampai tak sempat kau membawa bekal yang kusiapkan di meja makan; satu tangkap peluk dan segelas kecup yang masih hangat. Sampai hati kau meninggalkannya.

Kau begitu terburu-buru, sampai tak sempat menunggu satu lagi tangisku menetas, menetes membasahi punggung tanganmu yang tak mau kulepas. Kau begitu terburu-buru, sampai tak sempat meninggali untukku beberapa peluk yang kelak akan kurindukan. Bahkan kau begitu terburu-buru, sampai tak sempat membaca mataku, sampai tak sempat memastikan apakah aku baik-baik saja atau tidak.

Kau meninggalkan ruangan-ruangan, yang di dalamnya aku pernah bahagia karenamu. Ruangan-ruangan, yang di dalamnya masih pekat tercium aromamu.

Ruangan yang di dalamnya kau pernah mengulur waktu menyatakan perasaanmu, sambil menenggak sebotol besar soda untuk meredakan grogimu.

Ruangan yang di dalamnya aku pernah begitu bahagia karena menjadi ma'mummu, menikmati maghrib hari itu dengan segala kesyukuranku; tentang hari itu, tentang memiliki imam seperti kau.

Ruangan yang di dalamnya aku pernah terharu melihat kedekatanmu dengan adik laki-lakiku, tertawa seperti kau adalah kakak laki-laki yang dirindukannya.

Ruangan yang di dalamnya aku pernah begitu bangga melihatmu melahap makan siang masakanku.

Ruangan yang di dalamnya aku pernah begitu tenang bersandar di dadamu, sembunyi di rangkulanmu, mendengar cerita-certiamu tentang mimpimu, menikmati nyanyian-nyanyianmu, menghirup parfummu yang sampai saat ini masih berjejak di ingatanku.

Ruangan yang di dalamnya pipiku pernah bersemu, bahagia kau pandangi begitu lekat, ketika kau sematkan cincin di jari manisku, ketika kau pasangkan kalung di leherku.

Ruangan-ruangan itu masih ada, dengan ceritanya masing-masing. Tapi kau takkan lagi menjadi penghuni yang akan menambah cerita, atau sekedar menyesap secangkir teh sambil bernostalgia. Dan kau menyuruhku melupakanmu?

Aku lelah memaksakan diri menutup pintu yang kau biarkan terbuka. Aku menyerah menuruti maumu agar kau kulupakan. Aku menyerah karena semakin aku mencoba melupakanmu, semakin kakiku rasanya mau patah. Aku tak mau berjalan lebih jauh lagi. Tapi kemudian sesuatu menamparku keras, sesuatu yang memberitahuku tentang kau yang sama sakitnya. Karena semakin kau mencoba bertahan, semakin hatimu rasanya mau patah. Kau tak mungkin memaksakan mencintaiku lebih lama lagi, tempatku bukan di hatimu.

Menahanmu di hati dan pikiranku adalah pekerjaan mudah, sayang. Walaupun begitu terlihat miris. Maka aku akan melakukan yang lebih susah; menurutimu, melupakan kau. Walaupun begitu terlihat angkuh. Tapi aku akan melakukannya, membebaskanmu bernapas lega tanpa beban. Tanpa harus merasa telah menyakitiku. Tanpa harus merasa telah begitu jahat.

Karena beginilah harusnya aku meneruskan kebahagiaan yang kau tanam dalam-dalam di hatiku; dengan menjadi begitu ikhlas melepaskanmu, entah untuk alasan apa. Aku tak lagi perlu tau kenapa kau harus terburu-buru pergi, karena sekarang kau yang harus tau. Kau harus tau aku benar-benar baik-baik saja :)

-Nona rumah, dari rumahnya; aku, dari hatiku.







Tulisan ini diikutsertakan lomba menulis #SuratUntuk mantan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen : Merpati Rindu :)

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi