Masih

Aku adalah siku yang selalu berusaha menjangkaumu. Kau adalah hidung yang tak bisa kusentuh barang sejengkal pun. Ah, sayangku. Bagaimana mungkin aku protes kepada Tuhan, perihal kita yang berada pada satu tubuh tapi tak bisa saling menyentuh. Sedangkan berada dekat denganmu saja, bahagiaku hampir penuh.



Kau adalah pualam yang tidur pulas di mangkuk bening. Aku adalah sepasang mata yang mengintaimu dari balik etalase tak berkunci. Aku ingin menjangkaumu, mengusap barang sekali saja. Tapi apalah yang bisa sepasang mata lakukan; selain mengamati dan mengintaimu diam-diam.



Aku adalah gelas-gelas kaca berkaki satu. Kau adalah sebotol gendut anggur di perut meja. Aku menunggu sepasang tangan menuangkan kau ke pangkuanku, kemudian mereka bersulang dan membiarkanmu menari di pelukanku. Kemudian mereka menelanmu, juga menyesapku. Kita akan mati bersama, kemudian hidup kembali sebagai nafas bahagia orang-orang pirang di musim salju.



Kau adalah phonograph tua, aku adalah piringan hitam keramat. Kemudian ingatan kita menjelma bibir yang meniup debu-debuku. Dan kenangan-kenangan kita menjadi tangan yang memutarku kembali di rengkuhanmu. Apalah yang sanggup dilakukan sekeping masa lalu ini ketika kau peluk, sayang? Selain menceritakan detik-detik sebelum kau menciptakan semu di pipiku. Sampai ketika kau menghapuskannya sendiri dengan ibu jarimu.



Aku masih perempuan itu, sayang. Perempuan yang mencintai hujan dan petrichornya; tapi selalu kalah dan tak bisa menari di bawahnya. Perempuan yang mencintai langit malam, karena bintang tak menampakkan diri di kala siang. Perempuan yang mencintai hitam dan putih secara bersamaan, karena kebahagiaan tak selalu dapat diungkapkan dengan warna-warni.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen : Merpati Rindu :)

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi