Perihal Menunggu dan Rindu

Pada akhirnya, aku kembali menjadi aku yang memaksa matahari turun lebih awal. Lekaslah malam, Tuhan. Lekaslah Sabtu..

Aku sudah menelan dua pagi tanpa selamat pagi darimu. Tapi kupastikan, aku selamat pagi ini, untuk tetap menunggumu pulang. Aku sudah terpejam dua malam tanpa selamat tidur darimu. Tapi kupastikan, tidurku selamat malam ini, untuk tetap berbicara denganmu di mimpiku.

Sayang, rinduku serupa kilat yang tak mau mengalah pada deras hujan. Menyambar tapi tak bersuara, menjalar diam-diam panasnya. Tapi kupastikan, rinduku takkan membunuhmu. Tapi..

Terkadang rinduku liar serupa rumput di pekarangan, semakin waktu menginjak-injak helainya, semakin kuat akarnya. Tapi kupastikan, rinduku takkan menjeratmu. Tapi..

Seringkali rinduku tak tahu malu, melarikan diri dari awasku. Beriringan mengunjungi dan mengetuk jendela barakmu, minta diberi jalan masuk. Memelukmu, lewat dingin angin malam yang berebut lenganmu dengan selimut. Tapi kupastikan, rinduku takkan membekukanmu.

Ini malam ke-tiga tanpa pesan penghantar tidur. Anehnya aku selalu merasa telah membacanya, bahkan mendengarnya sayup-sayup. Kau sedang apa, sayang? Menceritakanku kepada angin, kah? Menitipkan 'selamat tidur' untukku kepada angin, kah?

Aku akan menunggumu, sampai kilat berubah merah jambu dan hujan yoghurt blueberry berebut jatuh. Meski hiu-hiu ketakutan dikepung teri dan para paus berusaha kurus. Aku akan tetap menunggumu.

Karena aku pernah menunggumu diam-diam lama sekali, dan aku berhasil. Sekarang, aku tak lagi menunggu diam-diam. Aku harus berhasil. Aku akan berhasil.

Karena aku tau apa yang kutunggu. Dan kau tau ada yang menunggumu. Maka aku akan menjadi pintu yang kau ketuk, dan kau jadi penghuni yang kutunggu pulangnya. Aku menunggumu.

Aku menunggumu lagi, sampai butir debu bisa dipisahkan satu-satu. Sampai bubur bisa kembali menjadi bulir padi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen : Merpati Rindu :)

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi