cepen : Kupu-kupu Senja :)


            “Sudah lama dia seperti itu?”
            “Sekitar dari dua tahun yang lalu, semenjak pusara itu ada yang punya”
            “Maksudmu? Dia anggota pesugihan!? Kenapa tidak kau laporkan?”
            “Ndasmu itu! Bukan.. Ini masalah hati”
            Hampir rutin setiap minggu laki-laki itu duduk bersila memandangi sebuah pusara, membawa bucket bunga dengan pita berwarna jingga. Selalu seperti itu, bahkan kuncen pemakaman pun sudah hafal benar dengan wajahnya.

                                                                        ***
            Sejak pertemuan di rapat Sabtu lalu, Senja sudah memperhatikan tingkah Guntur, laki-laki itu. Ada yang menarik, tapi entah apa.
            “Nja, nanti pulang sama siapa?”, tepukan tangan Rayi di bahunya membuyarkan khayalan tentang Guntur. Seandainya ini suara Guntur...
            “Naik taksi, Yi”
            “Mau aku anterin?”
            “Bener? Apa nggak ngerepotin? Kita kan nggak searah”
            “Kalo nanti Senja hilang malem-malem gini, malah ngerepotin, kan”
            Gadis itu tetap mematung, seperti masih menunggu tawaran pulang dari... Guntur.
            “Udah ayo sini naik cepetan!”
            “Mau pulang bareng aku?”
            Jelas sekali itu suara Guntur. Guntur mengajak Senja pulang?! Benarkah??
            Tunggu, di depannya itu ada orang lain. Ada perempuan. Dan perempuan itu cantik. Perempuan cantik itu lah yang Guntur ajak pulang, bukan Senja.
           
“Yi, suka sama seseorang tapi nggak diungkapin itu sakit ya”
            “Yaiyalah.. Apalagi kalo udah jelas banget perasaan itu nggak terbalas”
            “Ooh..”
            “Kenapa? Senja suka sama seseorang ya?” sesungguhnya pertanyaan ini membunuhnya. Rayi, sejak dulu dia menyayangi Senja. Bahkan lebih dari dirinya sendiri.
            “Hahaha, sudahlah. Eh aku ngantuk, boleh nyandar di punggung Rayi?”
            “Boleh sekali, tuan puteri”
            Seandainya jalan ini memanjang dua kali lipat saja, mungkin malam ini akan berlalu sedikit lebih lama. Tubuh mungilnya menyandar manja di punggung Rayi. Hal yang biasa bagi Senja, namun berarti untuk Rayi.
            “Sudah sampai, tuan puteri”
            “Ah Rayi!! Jangan meledekku terus seperti itu dong! Eh tapi makasih ya, mau mampir dulu?”
            “Enggak deh, nanti malem saja, yaa”
            “Hah?”
            “Nanti malem aku mampir ke mimpi Senja deh ya, hahahaha. Aku pulang dulu, gih sana cepetan masuk, nyamuknya genit nih gigitin Senja semua”
                                                                        ***
            “Kenapa kamu, Nja?”, seisi ruangan itu memandang aneh ke arahnya. Mbak Dina sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Senja. Hanya saja dia ingin memastikannya lagi.
            “Ketemu malaikat tadi Mbak di lobi hahaha”
            “Ooh, Guntur?”, dua jari Mbak Dina menyambar pinggul Senja dengan sebuah colekan.
            “Sssst.. hahaha”
            Di tengah-tengah cekikikan dua sahabat itu, tiba-tiba suara angin berubah maskulin. Benar-benar suara laki-laki idaman.
            “Permisi..”
            Mereka berbalik, melihat dari ujung kaki hingga kepala. Ternyata itu Guntur yang sedang tersenyum. Benar-benar manis sekali.
            “Senja?”
            “I.. Iya? Ada apa?”
            “Hahaha, tidak usah kaku begitu. Aku mengagetkanmu, ya?”
            “Ooh tidak kok!! Tidak sama sekali!! Ada apa Gun?”
            “Ini loh aku mau tanya, bahan berita yang kemarin itu ada nggak kopiannya sama kamu?”
            Tampak benar salah tingkah yang diperlihatkan Senja. Mungkin Guntur pun menyadarinya. Gadis itu masih saja tergesa-gesa membuka lembaran-lembaran map yang berserakan di meja kerjanya. Sanking tergesa-gesanya, lembaran hvs berisikan grafiti nama Guntur tanpa kesadarannya telah ia selipkan di map yang berisi berita harian itu.
            “Oke, makasih ya Nja. Kalo nggak ada ini, mungkin Bos marah besar sama aku”
            “Iya Gun... Sama-sama”
            Wajah rupawan itu pelan-pelan menjauh, meninggalkan ruangan editor yang lumayan luas itu
            “Gun!!!”
            “Iya Nja?”
            “Maaf, aku mau ambil ini” di tariknya secarik kertas penuh grafiti itu. Untung Guntur tidak menyadari apa isinya.
            Dia tidak menyadari kalau sejak tadi tingkahnya aneh, bahkan Guntur pun hanya menjawab kata-kata itu dengan segaris senyum. Segaris senyum saja sudah berarti besar untuknya, seperti jawaban ‘Iya sayang’ di dalam otaknya. Untung saja di ruangan itu hanya tinggal Dia dan Mbak Dina, karyawan lain jadi tidak bisa melihat kekonyolan tingkah Senja pagi-pagi begini.
            “Mbak..”
            “Opo tah, Nja?”
            “Aku beneran suka loh sama Guntur”
            “Yowes, kamu bilang aja langsung ke dia”
            “Tapi kan...”, wajahnya memuram. Seperti keset basah yang penuh lumpur. Muram sekali. “Tapi kan, dia sudah jadi punyanya Sekar, Mbak”
            “Loh? Emangnya mereka sudah resmi pacaran?”
            “Lah ya mana aku tahu. Yang jelas, setiap pulang kantor, Guntur selalu mengantarnya. Apa namanya itu kalo bukan pacaran?”
            “Kamu tanya langsung aja ke Guntur nya, biar nggak jadi tanda tanya”
            “Hah!? Nanti Guntur kira, aku suka sama dia lagi. Ih enggak deh”
            “Heh kancil! Emang kamu suka sama dia kaleeeee”
            “Iya sih, Mbak. Tapi...”
            “Heh kalian ini! Jam kerja masih aja ngobrol”
            “Iya Bos, Maaf”
            “Ssst, blackdevil ngamuk”
***
            Dia terus saja memegangi ponselnya. Mengetikkan nomer yang sudah dihafalnya di luar kepala. Tapi tidak jadi-jadi menekan tombol ‘call’. Dia tetap tak bisa diam, bahkan bias bayangnya menjalar sampai ke luar pintu dari jendela besar ini. ‘drtt... drttt..’. Kenapa sih di saat-saat seperti ini harus ada telepon dari kantor?!
            “Haloo..”
            “Senja?”
            “Guntur?”, deggg seperti mimpi. Dia benar-benar berharap susara di seberang sana adalah Guntur.
            “Bukan, ini Rayi”
            “Ooh.. kenapa Yi? Kok pake telepon kantor sih?”
            “Heeeeh kamu ini Nja! Masa sih tidak bisa mengenali suara ku? Aku Guntur”
            “Jadi ini sebenarnya Guntur apa Rayi sih!?”
            “Aku Guntur, Nja. Maaf ya mengagetkanmu, aku takut kalau menghubungimu lewat ponselku, nanti kamu tidak mau mengangkatnya”
            Kyaaaaa!!! Bodoooooh!! Justru itu yang aku tunggu-tunggu!! *suara hati Senja*
            “Ooh.... Memangnya mau bicara apa Gun?”
            “Nanti aku telepon lagi, aku mau pulang dulu. Bye”
            ‘tut.. tuuut... tuuuut...”
            Setelah itu, ponselnya berdering bukan lagi karena kantor yang menelepon, tapi Guntur, benar-benar Guntur. Semenjak saat itu, impian Senja seakan-akan menjadi nyata. Dia bisa lebih dekat dengan Guntur. Dekat sekali.
            “Gun..”
            “Iya, Nja?”
            “Sekar itu.... pacarmu?”
            “Iya, Senja. Tapi aku mau kok meninggalkan Sekar, untuk bersamamu. Aku terkesan mendengar pengakuanmu tempo hari di telepon, aku terkejut mengetahui kalau sebenarnya kamu menyukaiku sejak lama”
            Senja sempat terganggu karena pengakuan itu. Tapi rasa sayang yang terlanjur diam-diam tumbuh, bahkan sebelum Guntur dekat dengan kehidupannya seperti sekarang ini, membunuh semua rasa pengganggu akibat Sekar yang ternyata sudah lebih dulu memiliki Guntur.
            “Nja, aku....”
            “Senjaaa!”, jelas sekali itu adalah Rayi yang melambaikan tangan dari jauh sana.
            “Rayi? Udah pulang?”
            “Udah, eh Gun. Boleh aku pinjem Senja sebentar?”
            “Oke. Nja, aku kesana dulu ya. Ngobrol aja berdua”
            “Tapi.. Gun!!?”
            “Udah nggak apa-apa. Ngobrol aja dulu sama Rayi”, laki-laki itu pergi meninggalkan mereka. Tetap tanpa ekspresi, dia pintar benar bersikap ‘cool’. Dan itu yang membuat Senja semakin terkagum-kagum.
            “Maaf, Nja. Aku ngeganggu Senja, ya?”
            “Sedikit, Yi”
            Seperti telah merusak kebahagiaan orang yang disayanginya. Rayi merasa sangat salah sekarang. Mungkin dia mulai sadar, orang yang diam-diam disukai Senja selama ini adalah Guntur...
            “Aku mau kasih oleh-oleh ini buat Senja”
            “Waaah, makasih ya Rayii”
            “Sini deh aku pakein”
            Bahkan kibasan rambut Senja sudah teramat indah bagi Rayi. Leher mungil perempuan itu semakin indah setelah kalung itu melekat di sana.
            “Naah, bagus kan?”
            “Iyaa. Makasih ya Yi. Eh, aku masuk dulu ya, kerjaan belum kelar semua nih. Sekali lagi makasih yaa. Daaah”
            Dia mematung tepat di pintu lobi, jam makan siang memang belum berakhir. Jadi tempat ini sepi sekali, benar-benar sepi. Di dalam hanya ada Guntur dan Sekar. Dengan dua pasang bibir yang menyatu diam-diam. Senja mengurungkan langkahnya, dia berbalik arah meninggalkan lobi. Dua sejoli yang asyik bercumbu di dalam sana, masih tidak menyadari ada sepasang mata yang memergoki mereka, dan Guntur tak menyadari ada sekeping hati yang patah, dan remah-remah patahan itu berhamburan mengiringi bayangan Senja.
            “Senja? Kenapa kamu?”
            Dia mulai bercerita tentang kebahagiaan sementara milik mereka kepada Mbak Dina. Betapa baru sekejap kesenangan itu menyentuhnya, kemudian sekarang harus berduka –lagi-.
            “Aku nggak mau berharap lagi Mbak, udah cukup”
            Sejak tadi sudah empat bungkus tissue kecil-kecil habis untuk menghapus air matanya. Senja tak berhenti-berhenti menangis sejak kejadian itu dilihatnya, dengan jelas.
            “Yuk Nja, udah selesai jam makan siang kita”
            Isakkan nya memang sudah berhenti, tapi mata yang membengkak dan merah itu tidak bisa membohongi setiap orang yang bertanya ‘Senja nangis?’
            “Hai Nja”, lagi-lagi Guntur memecahkan pertahanan tanggul air di matanya.
            “Nja? Kamu nangis?!”
            Cepat-cepat Mbak Dina membawanya naik ke lantai atas, ke ruangan mereka. Senja sudah dianggapnya adik kandung, tak salah sikapnya yang ingin melindungi Senja seperti ini.
                                                                        ***
            Pagi ini kantor ribut, sebuah puisi dikirim ke redaksi mereka. Memang hal biasa, tapi kali ini berbeda. Puisi hasil karya orang yang tidak mereka sangka-sangka.

Kupu-Kupu Cintaku

Aku pernah mengagumimu dalam diam
Dan kau tetap menari
Namun aku gusar
Mengapa kau tak kunjung hinggap?
Setidaknya beri aku waktu sekejap
Sekejap saja untuk bahagia

Aku lelah mengikutimu menari
Tanpa pernah memperdulikan lengsernya matahari
Ada Senja di sini, menunggumu hinggap di kelopak si bunga jingga itu
Atau paling tidak
Terbang menuju picisan cahaya ini
Di ambang-ambang cakrawala ini
Ada Senja di sini

Aku mengejarmu lalu kau berhenti menari
Namun kenapa kau lari?
Apa aku terlalu gelap untuk kau indahkan?

Aku tak lagi akan diam
Aku hanya ingin pergi
Kemudian nanti kau cari aku
Aku yang selalu memanjakanmu lewat pandangan diam
Aku yang menemanimu menari tanpa melihatku
Kemudian nanti kau cari aku
Aku yang pergi bersama matahari
Ada Senja di sini
Karya : Gemintang Senja

            Pagi ini Senja datang tidak seperti biasanya. Dia tidak memakai pakaian seperti akan pergi kerja, tapi seperti ingin entah kemana.
            “Resign?!?!”
            “Iya Mbak, iya Yi. Aku gak bisa terus-terusan di sini”
            “Terus kamu mau ke mana?”
            “Aku mau ke tempat Kakakku. Nanti sore kereta ku berangkat”
            “Apa ini gara-gara laki-laki itu?!”
            “Sudahlah Mbak, makasih selama ini udah jagain aku”
            Gadis itu berlalu begitu saja, meninggalkan dua orang penyemangatnya. Entah kenapa Rayi terganggu akan ini, dia marah bukan karena Senja pergi dan tidak sempat membalas perasaannya, dia marah karena ada yang menyakiti perempuan itu.
            Mbak Dina menceritakan semuanya setelah Senja berangkat sore ini. Setelah mengantar Senja ke stasiun, di sepanjang jalan pulang mereka berbincang. Guntur ngotot ingin memastikan apa yang telah melukai hati Senja. Dan akhirnya, dia mengerti semuanya.
                                                                        ***
            Pagi ini kantor gempar lagi. Kali ini, bukan karena puisi karya Senja, tapi berita heboh dari stasiun. Tiga buah gerbong kereta Jogja-Solo yang berangkat sore kemarin tergelincir dan memakan seluruh korban jiwa. Seisi kantor tidak ada yang tahu kalau kemungkinan besar ada Senja di sana. Redaksi mereka kali ini mengirimkan Guntur untuk meliput kejadian di sana, di daftar korban ‘Gemintang Senja’ adalah nama pertama.
            Dia pulang dalam hening. Antara percaya dan tidak, itu tadi benar-benar nama Senja. Dicarinya Rayi, didapatnya sebuah hadiah besar yang mendarat di pelipisnya. Sebuah pukulan yang tidak seberapa dari Rayi, setelah mereka sama-sama tahu Senja pergi selamanya.
            Sekar pun sudah tahu semuanya dari Mbak Dina, rasa bersalah itu terus-terusan menghantuinya. Tapi dia memang tidak salah apa-apa, dia pun tidak tahu Senja akan pergi karenanya. Hubungannya dengan Guntur pun sudah berakhir tak lama setelah kepergian Senja. Dia merasa berkhianat kepada nyawa tak ber-raga.
                                                                        ***
            Pemakamannya selesai sore ini, dan Mbak Dina membawa sekotak besar bingkisan. Bukan untuk diletakkan di sana, tapi untuk diberikan kepada Guntur yang sejak tadi benar-benar hanya diam memandangi pusara Senja.
            “Ini apa, Mbak?”
            “Kamu lihat saja”
            Pemakaman sudah sepi ditinggal pelayat. Hanya ada Guntur dan bingkisan itu di sini. Kotak itu hanya penuh kertas bertuliskan beberapa puisi juga namanya. Ternyata perasaan Senja benar-benar sedalam itu. Sedalam yang tidak pernah terbayangkan olehnya.
            Beberapa hari setelah Senja dikebumikan, Guntur selalu datang ke sana. Hingga dua tahun berlalu semenjak kepergian Senja. Penyesalan itu masih menghantui hidupnya. Betapa sesungguhnya, ternyata Senja benar-benar sangat berarti.
            “Nja. Kamu kapan balik lagi? Aku udah hinggap di pusara kamu dua tahun ini. aku udah datengin kamu sesering mungkin. Nja, tapi aku kupu-kupunya kamu? Aku lagi di deket kamu. Ayodong ajak aku bicara. Jangan gini terus Nja! Senjaaa!”


Kupu-Kupu Senja

Aku menunggumu datang
Aku menunggumu hinggap di serpihan-serpihan kehancuranku
Aku menunggumu menangisi sesal yang berjalan maju
Aku menunggu sayapmu lelah berlari
Aku menunggumu datang
Hinggap sekejap di pusaraku
Menyanyikanku senandung sesal dari hati
Aku menunggumu datang
Berteduh dibalik kelopak bunga di sesebaran pemakamanku
Membacakanku sebait puisi sesal dari hati
Retno Widya Pangesti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen : Merpati Rindu :)

Dear Putri

Hujannya langit, untuk bumi